Sabtu, 31 Januari 2009

Hidayah dari nasehat kematian

www.mqmedia.com


Mar 23, '06 2:45 AMfor everyone
Maria Anastasia Dwi Eni Widiyastuti nama saya. Lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1962, dari keluarga penganut Katolik yang taat. Sejak kecil hingga dewasa saya menuntut ilmu di sekolah Katolik. Ketaatan keluarga pada agama, membuat mereka tak menyukai ketika saya masuk islam, yang mana saya ikrarkan seorang diri di tengah malam tepat tanggal 13 September 1985, pukul 00.00. Meski tanpa saksi, saya yakin syahadat saya diakui Allah, karena saya yakin bahwa Allah itu Mahatahu.Keinginan saya menjadi Muslim, bermula dari rasa takut akan kematian. Dan perasaan takut itu seringkali timbul dan mengganggu hidup saya, sehingga saya sering bertanya-tanya dalam hati, “Apa yang akan terjadi jika saya mati kelak ?”. “Apa kah ada kehidupan dalam kubur ?”. “Lalu, kalau ada kehidupan di alam kubur kelak , di manakah saya akan bermuara ?”. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Seringkali saya bertanya pada guru atau orang-orang yang faham tentang itu. Tetapi selalu saja jawaban-jawaban mereka tak pernah membuat saya puas. Di tengah kebimbangan hati ini, saya mencoba mempelajari semua agama dengan cermat dan teliti. Termasuk Islam yang menjadi agama saya saat ini. Dan, alhamdulillah, kepuasan atas jawaban tersebut saya temukan dalam Islam.Hijrah menjadi seorang Muslim bukan hal yang mudah bagi saya waktu itu. Karena selalu saja saya diliputi keraguan. Apalagi saya begitu yakin, kalau orang tua tak kan pernah menyetujui hijrahnya saya menjadi Muslim. Identitas keislaman tidak saya beritahukan pada siapapun. Termasuk pada keluarga. Karena perasaan takut masih menghantui saya. Bukan saja rasa takut melukai perasaan mereka, tapi rasa takut kalau mereka memusuhi saya juga kelak. Sehingga, dalam melakukan aktifitas keislaman seperti shalat, masih saya lakukan di dalam kamar terkunci dengan rukuh dan mukena pinjaman dari tetangga. Saya belajar shalat dari buku petunjuk shalat dan buku-buku Islam lainnya yang saya beli.Setelah sekian lama saya menyembunyikan keislaman ini, tiba-tiba suatu hari adik saya menemukan saya sedang shalat dzuhur di kamar. Ya, itu terjadi karena saya lupa mengunci pintu kamar saat saya shalat. Semula, saya mengancamnya agar tak memberitahukan tentang keislaman ini pada keluarga. Tapi, meskipun begitu, dia tetap melaporkannya kepada keluarga. Dan dugaan saya ternyata benar. Keluarga sangat marah dan kecewa atas keislaman saya.Saya akui, saya memang sangat mencintai keluarga. Terutama pada ibu, bapak dan kakak serta adik saya. Tapi, saya lebih mencintai Islam. Ketika mereka menyuruh agar saya keluar dari Islam, saya lebih memilih dimusuhi dan dijauhi mereka. Ya, walaupun saya tinggal satu atap bersama mereka, mereka tidak memberi saya makan, dan membiarkan saya untuk makan dan memenuhi kebutuhan saya sendiri. Tapi, alhamdulillah, akhirnya saya pun bisa memenuhi itu dari hasil beasiswa sekolah saya. Walaupun begitu, saya ikhlas menerima hal itu dengan lapang. Seperti biasanya, menjelang Hari Raya Idul Adha banyak kambing & sapi yang akan dijadikan qurban. Saya tdk tahu kenapa sapi yang baru saja diturunkan dari truk lepas dan masuk ke rumah saya. Mungkinkah sapi itu sengaja dikirim oleh Allah sebagai pelajaran buat saya ? Sapi tersebut masuk dan berdiam sejak Isya, dan baru keluar (meninggalkan rumah) pada jam 00.01. Dari peristiwa tersebut, saya bisa menangkap sebuah nasihat, “Kenapa saya tidak mau berkorban sebagaimana qurbannya kaum Muslimin dengan sapi itu ?”. Berqurban bagi saya bukan berqurban dengan harta benda yang tidak saya miliki. Tetapi pengorbanan diri saya, agar mampu menang gung semua resiko untuk mengumumkan keislaman saya kepada orang-orang. Sehingga saya tak perlu takut lagi akan teror dan ancaman yang kelak akan menimpa saya.Esok paginya, saat hari raya Idul Adha tiba, dengan rasa was-was saya langkahkan kaki menuju lapangan untuk mengikuti shalat Idul Adha. Benar dugaan saya, semua orang terkejut dengan kehadiran saya. Tatapan curiga yang tertuju ke wajah saya berasal dari berbagai arah. Dan saya maklumi itu. “Sekarang mbak Maria sudah masuk Islam ?”. “Nggak usah curiga, sebenarnya mbak Maria ini sudah lama masuk Islam !”, ujar seorang ibu tiba-tiba sambil merangkul saya. Saya senang dengan perkataan ibu itu, orang-orang yang ikut shalat Idul Adha mengangguk-angguk mendengar perkataan ibu tersebut.
Suatu hari, saya dikenalkan seseorang pada laki-laki bernama Edy Supranjono. Mas Edi juga seorang muallaf sama seperti saya. Pun dengan masalah yang ia hadapi saat ini, yaitu masalah keislaman yang banyak ditentang oleh pihak keluarga. Dan berkat kasih sayang Allah, akhirnya kami pun disatukan dalam satu ikatan pernikahan. Alhamdulillah, setelah saya berkeluarga bersama mas Edy, perasaan saya lega. Beban yang semula terasa berat di pundak saya, kini kami bisa saling berbagi. Ya, walaupun materi yang kami punya saat itu bisa dibilang sangat sedikit. Karena studio foto yang menjadi sumber mencari nafkah dan motornya diminta orang tua mas Edy, yang juga mertua saya.Walaupun hanya mengandalkan gaji kami hasil mengajar, kami masih bisa hidup bahagia. Apalagi, kebahagian itu terasa sempurna saat hadir sang buah hati anugerah Ilahi. Terimakasih ya Allah, kebahagiaan itu ternyata kau berikan pula pada kami. Walaupun kebahagiaan itu harus kami raih dengan darah dan keringat kami. Ya Allah, hanya kepada-Mu lah kami berserah diri. Tunjukkanlah jalan yang lurus buat kami, yaitu jalan keselamatan, dan tajamkan mata hati kami untuk melihat kebenaran dan kesalahan, hingga terang jalan kami untuk mengikuti-Mu.(sumber : MQMedia.com)